Wednesday 4 January 2012

TULISAN 3 "PERUSAHAAN YANG PAILIT"

KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam kami sampaikan kehadiran Tuhan Yang Maha Pemurah Allah SWT,  karena berkat kemurahan-Nya Tulisan ini dapat saya selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam Tulisan ini yang menjadi pokok pembahasan adalah “Perusahaan Yang Pailit”, suatu penelitian yang menitik beratkan pada peranan Perusahaan dalam menghadapi pailit.
Tulisan ini dibuat dalam rangka memperdalam  pemahaman tentang Perusahaan Yang Meyakini Perusahaan Yang Pailit sehingga hasilnya dapat menjadi masukan serta pengetahuan yang dapat dipelajari.
Demikian Tulisan ini saya buat semoga bermanfaat baik khususnya untuk diri saya pribadi, serta masyarakat luas.


Putusan Mahkamah Agung dalam kasus korupsi CGN akan dijadikan sebagai pintu masuk oleh aparat kejaksaan untuk mengungkap kasus-kasus kredit macet Bank Mandiri lainnya. Sampai 2004, BPK mencatat 28 kasus penyimpangan kredit raksasa senilai Rp 12,3 triliun.
Wajah-wajah lega terpancar di jajaran aparat penegak hukum Gedung Bundar Kejaksaan Agung. Pemicunya, apalagi kalau bukan putusan kasasi Mahkamah Agung dalam perkara korupsi PT Cipta Graha Nusantara (CGN), yang membatalkan putusan bebas pengadilan tingkat pertama. Putusan kasasi tersebut tak ubahnya angin segar. Setidaknya, pertimbangan majelis kasasi akan dijadikan pintu masuk untuk melanjutkan penyelidikan dan penyidikan kasus dugaan penyimpangan kredit di Bank Mandiri lainnya, yang juga melibatkan Neloe dkk.
Asal tahu, selama ini penanganan perkara kredit macet di bank pelat merah terbesar itu memang sempat terhenti saat ECW Neloe dkk diputus bebas di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Februari 2006. Namun, diakui Jaksa Agung Hendarman Supandji, terbitnya putusan kasasi MA yang memvonis penjara ketiga bekas bos Bank Mandiri itu, membuat kasus-kasus lain yang serupa bisa segera diprogramkan pengusutannya hingga ke tahap penuntutan. “Saya sudah perintahkan JAM Pidsus untuk segera menyelesaikan,” tegas Jaksa Agung.
Menurut Hendarman, putusan MA memberikan jalan mulus bagi kejaksaan untuk menyelesaikan kasus dugaan korupsi dalam kredit bermasalah yang dilakukan debitor Bank Mandiri. Dalam catatan Investigasi, sejauh ini Bank Mandiri memang masih memiliki sejumlah masalah kredit macet. Sampai 2004, BPK mencatat 28 kasus penyimpangan kredit raksasa senilai Rp 12,3 triliun, di antaranya melibatkan sejumlah perusahaan besar.
Jika ditelusuri, perusahaan-perusahaan tersebut rata-rata terkait dengan sejumlah orang dan nama penting. Misalnya, BPK menemukan kredit senilai Rp 498,6 miliar ke Bakrie Telecom milik Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, yang diberikan pada 2003. Ada juga kredit kepada PT Batavindo Kridanusa milik politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Habil Marati. Sudah pasti, itu belum termasuk kredit superjumbo ke PT Kiani Kertas sebesar Rp 1,7 triliun pada 2002. Juga, utang yang terpaksa dihapusbukukan di Bank Mandiri senilai Rp 2,9 triliun milik Grup Raja Garuda Mas (RGM).
Belum semua kredit yang dinilai bermasalah itu berujung penyidikan. Sumber di Kejakgung menyebut, dari 28 perusahaan, baru empat kasus yang sudah terindikasi korupsi. Kesimpulan itu dicapai setelah tim Kejakgung dan BPK membedah laporan hasil pemeriksaan kredit Bank Mandiri 2004. Keempat kasus tersebut adalah PT CGN dengan kredit macet Rp 160 miliar, PT Lativi Media Karya Rp 361,8 miliar, PT Siak Zamrud US$ 4,7 juta, dan pengucuran dana talangan (bridging loan) pada Arthabhama Textindo senilai US$ 3,642 juta, serta Arthathama Textindo senilai US$ 8,019 juta.
Untuk mengusut kasus-kasus kredit di Bank Mandiri, kejaksaan membentuk lima tim jaksa dari 10 tim yang dipersiapkan. Empat tim ditugasi mengusut kasus kredit uang negara di empat perusahaan, dan satu tim lagi khusus bekerja memeriksa direksi Bank Mandiri. Selain perkara PT CGN – yang saat ini sedang ditunggu putusan kasasinya – masih ada beberapa debitor Bank Mandiri yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka, namun belum ditingkatkan ke penuntutan.
Di antaranya, PT Lativi Media Karya, PT Oso Bali Cemerlang, PT Siak Zamrud Perkasa, dan PT Arthabama Textindo. “Intinya, konstruksi hukumnya sekarang menjadi jelas. Kalau dulu kan berbeda,” cetus Hendarman. Seperti diketahui, salah satu pertimbangan majelis kasasi dalam memutus kasus Neloe di CGN adalah, para terdakwa dinilai telah melanggar prinsip kehati-hatian dalam perbankan untuk menyalurkan kredit kepada pihak tertentu. “Kita sependapat dengan beberapa argumentasi jaksa, ditambah argumentasi dari MA sendiri,” ujar Ketua MA Bagir Manan.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman memastikan, kasus-kasus lain yang berkaitan dengan Neloe dkk saat ini sudah dan sedang diteliti ulang oleh Kejakgung. Terkait dengan itu, pihaknya juga telah melakukan serangkaian pemeriksaan tambahan terhadap beberapa pihak dengan tujuan membikin terang perkara. “Seluruhnya ada sekitar enam-tujuh kasus. Kita akan ajukan semua. Percayalah sama kita,” ujar Kemas.
Dalam mengusut kasus-kasus kredit Bank Mandiri, fokus Kejakgung memang tidak diarahkan hanya untuk mengungkap pelanggaran pihak kreditor saat menggelontorkan dananya. Namun juga menjerat si debitor yang nakal. Dalam kasus CGN, kita tahu, ketiga pengurus perusahaan tersebut: Edyson, Diman Ponijan, dan Saiful Anwar (baru saja meninggal dunia – Red.), ikut serta sebagai terdakwa, meski kemudian diputus bebas oleh majelis hakim PN Jakarta Selatan.
Pada perkara korupsi PT Oso Bali Cemerlang, pemeriksaan yang kembali digencarkan juga difokuskan ke manajemen perusahaan. Dua bulan lalu, tim penyidik Kejakgung yang diketuai Rein Singal telah memanggil Dirut PT Oso Sutrisno Lukito Disastro. Ia diperiksa sebagai saksi korupsi penyalahgunaan pemberian fasilitas kredit Bank Mandiri oleh perusahaannya, dengan tersangka mantan dirut Chandra Wijaya.
Perkara Oso Bali mirip-mirip dengan CGN. Perusahaan tersebut didirikan pada 1 Oktober 2001. Lantas, pada 5 Oktober, perusahaan ini mengajukan kredit investasi kepada Bank Mandiri sebesar Rp 80 miliar. Dalam proposal dinyatakan, kredit akan dipakai untuk membeli hotel dan ruko di Bali. Ternyata penggunaan kredit tidak sesuai peruntukan. Jumlah kerugian negara sedang diaudit oleh BPKP, dengan perhitungan sementara lebih dari Rp 10 miliar.
Bidikan kepada debitor juga dilakukan dalam kasus kredit Lativi Media Karya, Siak Zamrud Pusaka, dan pengucuran dana talangan (bridging loan) pada Arthabhama Textindo dan Arthatrimustika Textindo. Dalam kasus Arthabama, karena dinilai lamban menentukan tersangka, pada Juli 2005, Hendarman – semasa masih menjabat JAM Pidsus – bahkan sampai pernah melakukan penggantian jaksa penyidik.
Yang penting dicatat, kasus-kasus kredit Bank Mandiri kebanyakan dipicu oleh tindakan penyimpangan dalam proses penyaluran, yang kemudian berakibat macet. Pada 2004, ketika melaporkan hasil pemeriksaan terhadap Bank Mandiri ke Kejakgung, BPK sendiri menyatakan, kredit macet sejatinya biasa karena termasuk risiko usaha. “Namun, yang terjadi di Bank Mandiri lain. Kami menemukan indikasi kuat telah terjadi ketidakhati-hatian dan ketidaktaatan terhadap hukum dalam pencairan kredit,” kata Djapiten Nainggolan, saat itu Pelaksana Tugas Kepala Biro Hukum dan Perundang-undangan BPK.
Satu contoh, dalam kasus pengucuran kredit ke PT Arthabhama Textindo dan Arthatrimustika Textindo – keduanya perusahaan tekstil yang tergabung dalam Artha Group. Arthabhama merupakan perusahaan pemintalan benang, sedangkan Arthatrimustika bergerak di bidang pemintalan, penenunan, pencelupan, dan percetakan. Kucuran kredit Bank Mandiri bermula dari pengalihan aset kredit kedua perusahaan itu ke Konsorsium Tugas dan Bank International Indonesia (BII), yang telah membelinya lewat program penjualan aset kredit BPPN pada 2002 senilai Rp 60 miliar. Nilai nominal tagihan kredit di kedua perusahaan itu Rp 476 miliar.
Setelah transaksi, Konsorsium Tugas mengajukan permohonan pembiayaan kembali atas utang Grup Artha itu kepada Bank Mandiri. Hanya dalam hitungan hari, usulan disetujui. Padahal, modal kedua perusahaan saat itu cekak, sehingga diragukan kelangsungan usahanya. Benar saja, kredit Grup Artha tetap macet. BPK pun mencium ketidakberesan dalam proses pengucuran kredit tersebut.
Kesembronoan juga terekam dalam pemberian kredit ke Lativi. Perusahaan pengelola stasiun televisi swasta ini dimiliki bekas menteri yang juga pengusaha Abdul Latief. Dari Bank Mandiri, Lativi mendapat fasilitas kredit investasi dan kredit modal kerja Rp 361,82 miliar. Persetujuan Mandiri diberikan pada April 2001, dengan total dana jaminan utama untuk fasilitas kredit 126,33 persen, atau di bawah ketentuan Bank Mandiri yang seharusnya 150 persen.
Ada tiga penyimpangan yang diindikasikan BPK. Salah satunya, penyaluran kredit tersebut melanggar asas kehati-hatian. Sebab, dua perusahaan afiliasi Lativi saat itu pun sedang menjalani restrukturisasi utangnya di Bank Mandiri. Kejanggalan lain, fasilitas modal kerja dicairkan sebelum debitor menyerahkan neraca pembukuan, seperti disyaratkan dalam perjanjian kredit.
BPK juga mempersoalkan adanya pemberian bank garansi US$ 87.500, yang dibebankan kepada fasilitas kredit investasi. Dalam kasus korupsi Lativi, Kejaksaan Agung menetapkan tiga tersangka. Masing-masing Dirut Lativi Hasyim Sumiyana, Komisaris Utama Abdul Latief, dan mantan dirut Usman Dja’far yang kini menjabat Gubernur Kalimantan Barat.
Agustus 2006, Lativi memang telah melunasi kredit tersebut. Namun, Hendarman Supandji waktu itu menyatakan, Kejakgung tetap akan menyidik dugaan penyalahgunaan kreditnya. “Yang kita tuduhkan kan Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang korupsi. Sedangkan masalah pelunasan diatur dalam Pasal 4,” jelasnya. Seperti diketahui, dalam Pasal 4 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan: pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghentikan dipidananya pelaku tindak pidana.
Lantas, bagaimana dengan Siak Bumi Pusako? Sama saja. Perusahaan yang berkedudukan di Pekanbaru Riau, ini adalah perusahaan kontraktor minyak. Pada 2001, Siak Zamrud dan Bank Mandiri menandatangani perjanjian fasilitas kredit senilai US$ 4,7 juta. Dari hasil pemeriksaan BPK diketahui, perjanjian kredit ternyata ditandatangani oleh Nader Thaher, yang enam bulan sebelumnya telah menjual kepemilikan sahamnya di perusahaan itu. Temuan lain, kontrak jual-beli Siak dan Petromat (perusahaan Belanda) senilai jutaan dolar yang disebut-sebut saat pengajuan kredit ke Mandiri, ternyata diragukan keabsahannya.
Namun, dari sekian banyak kasus kredit Bank Mandiri yang melibatkan Neloe dkk, kasus utang PT Raja Garuda Mas (RGM) dan PT Kiani Kertas termasuk yang banyak disorot. Utamanya, terkait dengan besaran kredit yang dikucurkan. Kredit RGM – milik taipan Sukanto Tanoto – nilainya mencapai Rp 2,72 triliun, di mana 49,1 persen di antaranya macet. Cuma, sampai sekarang, taipan itu belum juga tersentuh hukum. Ia bahkan dikabarkan tinggal di Singapura dan memutar bisnis di tanah leluhurnya, Cina.
Berbeda dengan penanganan kasus RGM, dalam kasus pengambilalihan aset Kiani oleh Bank Mandiri, ECW Neloe bersama M. Sholeh Tasripan dan I Wayan Pugeg, sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak 19 April 2007. Direktur Penyidikan pada JAM Pidsus M. Salim mengatakan, dalam kasus Kiani, Kejakgung dalam posisi menunggu perhitungan jumlah kerugian negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Perhitungan BPKP diperlukan, agar diperoleh jumlah yang jelas mengenai kerugian negara. “Itu kan angkafixed-nya harus dihitung,” ujarnya.
Terkait kasus Kiani, pada 4 Mei 2007, Neloe dkk telah diperiksa di Gedung Bundar. Beberapa karyawan dan pejabat Bank Mandiri, termasuk mantan Komisaris Utama Binhadi, juga direksi Kiani Kertas, telah pula dimintai keterangan. Tim penyidik juga telah mengantongi bertumpuk dokumen kasus Kiani dari ketiga tersangka. Dokumen yang disimpan dalam satu koper kecil itu dibawa Neloe saat diperiksa.
Penyidik Kejakgung berpendapat, pengambilalihan aset Kiani oleh Bank Mandiri diduga merugikan Rp 1,8 triliun. Penyidik menemukan adanya perbuatan melawan hukum dalam pengambilalihan aset Kiani oleh Bank Mandiri dari BPPN. “Tim penilai Bank Mandiri mengatakan tidak layak untuk diambil alih. Namun tetap saja direksi menyetujuinya. Padahal tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” ungkap Salim.
Idem ditto dengan kasus yang lain, Neloe dkk dianggap melanggar prinsip kehati-hatian dalam perbankan. Yang jelas, kata Salim, pemeriksaan untuk kasus yang melibatkan Neloe dkk kini dilakukan lebih cermat dan hati-hati. “Kita belajar dari pengalaman kasus sebelumnya di mana ketiganya bebas. Saya minta tim betul-betul cermat. Waktu itu saya sampai berkali-kali masuk ke ruangan untuk memantau pemeriksaan,” tutur Salim, menceritakan kesibukan saat pemeriksaan Neloe.
Kuasa hukum Neloe dkk, OC Kaligis, punya pendapat lain. Menurut dia, tuduhan korupsi dalam pengambilalihan aset Kiani Kertas oleh Bank Mandiri tidaklah berdasar. Sebab, semua dilakukan sesuai prosedur. “Pengambilalihan itu sudah diterima oleh rapat umum pemegang saham. Kemudian dilaporkan ke Bapepam dan dilaporkan ke Bank Indonesia.” Sudah begitu, auditing juga telah dilakukan. “Komisaris sudah menyetujui semua. Semua sudah diaudit,” tegasnya.
Hal lain, lanjut Kaligis, dari pemberian fasilitas kredit itu, Prabowo (Presdir PT Kiani Kertas Prabowo Subianto) juga telah membayar US$ 40 juta dari US$ 200 juta, dan kini tengah bersiap membayar cicilan berikut. “Jadi, tidak pernah ada tunggakan. Tapi kasus ini kan kewenangan kejaksaan, kami pasti taat,” ujarnya. Saat ini, kata Kaligis, kliennya terus mengumpulkan bukti-bukti tambahan berupa dokumen, termasuk persetujuan komisaris dan persetujuan para pemegang saham.
So? Ada satu hal yang menjadi catatan Kaligis. Kata dia, tindakan Kejakgung menetapkan ECW Neloe bersama I Wayan Pugeg dan M. Sholeh Tasripan sebagai tersangka kasus Kiani, galibnya semakin memperkuat indikasi tebang pilih. “Sedikit-sedikit Neloe. Ini Neloe, itu Neloe. Dalam pengambilalihan itu kan juga melibatkan divisi-divisi yang lain. Ini character assassination,” tandasnya, dengan nada tinggi.

KESIMPULAN
Perusahaan yang tidak dapat menjalankan sistem kerja maksimal hingga mencapai kerugian lebih besar disbanding keuntungan , dapat dikatakan sebagai perusahaan pailit . perusahaan pailit terjadi karena hasil produksi dari suatu perusahaan yang tidak dapat menghasilkan penghasilan lebih dari biaya produksi sehingga perusahaan mengalami kerugian yang besar . faktor lain terjadinya perusahaan pailit dapat disebabkan oleh kesalahan dalam  penggunaan dan dalam menjalankan  sistem kerja pada perusahaan.

0 comments:

Post a Comment