Wednesday, 4 January 2012

TULISAN 4 "CONTOH UKM YANG BERKEMBANG"

KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam kami sampaikan kehadiran Tuhan Yang Maha Pemurah Allah SWT,  karena berkat kemurahan-Nya Tulisan ini dapat saya selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam Tulisan ini yang menjadi pokok pembahasan adalah “Contoh UKM Yang Berkembang”, suatu penelitian yang menitik beratkan pada peranan UKM ini dalam mengembangkan usahanya tersebut.
Tulisan ini dibuat dalam rangka memperdalam  pemahaman tentang UKM Yang Berkembang sehingga hasilnya dapat menjadi masukan serta pengetahuan yang dapat dipelajari.
Demikian Tulisan ini saya buat semoga bermanfaat baik khususnya untuk diri saya pribadi, serta masyarakat luas.

Pengenalan Dasar UKM

         
   Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan ekonomi nasional, oleh karena selain berperan dalam pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja juga berperan dalam pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Dalam krisis ekonomi yang terjadi di negara kita sejak beberapa waktu yang lalu, dimana banyak usaha berskala besar yang mengalami stagnasi bahkan berhenti aktifitasnya, sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) terbukti lebih tangguh dalam menghadapi krisis tersebut. Mengingat pengalaman yang telah dihadapi oleh Indonesia selama krisis, kiranya tidak berlebihan apabila pengembangan sektor swasta difokuskan pada UKM, terlebih lagi unit usaha ini seringkali terabaikan hanya karena hasil produksinya dalam skala kecil dan belum mampu bersaing dengan unit usaha lainnya.

Pengembangan Sektor UKM

           Pengembangan terhadap sektor swasta merupakan suatu hal yang tidak diragukan lagi perlu untuk dilakukan. UKM memiliki peran penting dalam pengembangan usaha di Indonesia. UKM juga merupakan cikal bakal dari tumbuhnya usaha besar. “Hampir semua usaha besar berawal dari UKM. Usaha kecil menengah (UKM) harus terus ditingkatkan (up grade) dan aktif agar dapat maju dan bersaing dengan perusahaan besar. Jika tidak, UKM di Indonesia yang merupakan jantung perekonomian Indonesia tidak akan bisa maju dan berkembang. Satu hal yang perlu diingat dalam pengembangan UKM adalah bahwa langkah ini tidak semata-mata merupakan langkah yang harus diambil oleh Pemerintah dan hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah. Pihak UKM sendiri sebagai pihak yang dikembangkan, dapat mengayunkan langkah bersama-sama dengan Pemerintah. Selain Pemerintah dan UKM, peran dari sektor Perbankan juga sangat penting terkait dengan segala hal mengenai pendanaan, terutama dari sisi pemberian pinjaman atau penetapan kebijakan perbankan. Lebih jauh lagi, terkait dengan ketersediaan dana atau modal, peran dari para investor baik itu dari dalam maupun luar negeri, tidak dapat pula kita kesampingkan.

Klasifikasi UKM

Dalam perspektif perkembangannya, UKM dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat) kelompok yaitu :
1.       Livelihood Activities, merupakan UKM yang digunakan sebagai kesempatan kerja untuk mencari nafkah, yang lebih umum dikenal sebagai sektor informal. Contohya adalah pedagang kaki lim
2.       Micro Enterprise, merupakan UKM yang memiliki sifat pengrajin tetapi belum memiliki sifat kewirausahaan
3.       Small Dynamic Enterprise, merupakan UKM yang telah memiliki jiwa kewirausahaan dan mampu menerima pekerjaan subkontrak dan ekspor
4.       Fast Moving Enterprise, merupakam UKM yang telah memiliki jiwa kewirausahaan dan akan melakukan transformasi menjadi Usaha Besar (UB)

Permasalahan yang Dihadapi UKM

Pada umumnya, permasalahan yang dihadapi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM), antara lain meliputi:

• Faktor Internal
1.       Kurangnya Permodalan dan Terbatasnya Akses Pembiayaan

Permodalan merupakan faktor utama yang diperlukan untuk mengembangkan suatu unit usaha. Kurangnya permodalan UKM, oleh karena pada umumnya usaha kecil dan menengah merupakan usaha perorangan atau perusahaan yang sifatnya tertutup, yang mengandalkan modal dari si pemilik yang jumlahnya sangat terbatas, sedangkan modal pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya sulit diperoleh karena persyaratan secara administratif dan teknis yang diminta oleh bank tidak dapat dipenuhi. Persyaratan yang menjadi hambatan terbesar bagi UKM adalah adanya ketentuan mengenai agunan karena tidak semua UKM memiliki harta yang memadai dan cukup untuk dijadikan agunan.

2.       Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
Sebagian besar usaha kecil tumbuh secara tradisional dan merupakan usaha keluarga yang turun temurun. Keterbatasan kualitas SDM usaha kecil baik dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilannya sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan usahanya, sehingga usaha tersebut sulit untuk berkembang dengan optimal. Disamping itu dengan keterbatasan kualitas SDM-nya, unit usaha tersebut relatif sulit untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya saing produk yang dihasilkannya

3.       Lemahnya Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar
Usaha kecil yang pada umumnya merupakan unit usaha keluarga, mempunyai jaringan usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang rendah, ditambah lagi produk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha besar yang telah mempunyai jaringan yang sudah solid serta didukung dengan teknologi yang dapat menjangkau internasional dan promosi yang baik.

4.       Mentalitas Pengusaha UKM
Hal penting yang seringkali pula terlupakan dalam setiap pembahasan mengenai UKM, yaitu semangat entrepreneurship para pengusaha UKM itu sendiri.[17] Semangat yang dimaksud disini, antara lain kesediaan terus berinovasi, ulet tanpa menyerah, mau berkorban serta semangat ingin mengambil risiko.[18] Suasana pedesaan yang menjadi latar belakang dari UKM seringkali memiliki andil juga dalam membentuk kinerja. Sebagai contoh, ritme kerja UKM di daerah berjalan dengan santai dan kurang aktif sehingga seringkali menjadi penyebab hilangnya kesempatan-kesempatan yang ada.

5.       Kurangnya Transparansi
Kurangnya transparansi antara generasi awal pembangun UKM tersebut terhadap generasi selanjutnya. Banyak informasi dan jaringan yang disembunyikan dan tidak diberitahukan kepada pihak yang selanjutnya menjalankan usaha tersebut sehingga hal ini menimbulkan kesulitan bagi generasi penerus dalam mengembangkan usahanya
·                      Faktor Eksternal
1.       Iklim Usaha Belum Sepenuhnya Kondusif

Upaya pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dari tahun ke tahun selalu dimonitor dan dievaluasi perkembangannya dalam hal kontribusinya terhadap penciptaan produk domestik brutto (PDB), penyerapan tenaga kerja, ekspor dan perkembangan pelaku usahanya serta keberadaan investasi usaha kecil dan menengah melalui pembentukan modal tetap brutto (investasi).[19] Keseluruhan indikator ekonomi makro tersebut selalu dijadikan acuan dalam penyusunan kebijakan pemberdayaan UKM serta menjadi indikator keberhasilan pelaksanaan kebijakan yang telah dilaksanakan pada tahun sebelumnya.

2.       Terbatasnya Sarana dan Prasarana Usaha

Kurangnya informasi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan sarana dan prasarana yang mereka miliki juga tidak cepat berkembang dan kurang mendukung kemajuan usahanya sebagaimana yang diharapkan. Selain itu, tak jarang UKM kesulitan dalam memperoleh tempat untuk menjalankan usahanya yang disebabkan karena mahalnya harga sewa atau tempat yang ada kurang strategis.

3.        Pungutan Liar
Praktek pungutan tidak resmi atau lebih dikenal dengan pungutan liar menjadi salah satu kendala juga bagi UKM karena menambah pengeluaran yang tidak sedikit. Hal ini tidak hanya terjadi sekali namun dapat berulang kali secara periodik, misalnya setiap minggu atau setiap bulan.

4.       Implikasi Otonomi Daerah
Dengan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004, kewenangan daerah mempunyai otonomi untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat. Perubahan sistem ini akan mempunyai implikasi terhadap pelaku bisnis kecil dan menengah berupa pungutan-pungutan baru yang dikenakan pada UKM. Jika kondisi ini tidak segera dibenahi maka akan menurunkan daya saing UKM. Disamping itu, semangat kedaerahan yang berlebihan, kadang menciptakan kondisi yang kurang menarik bagi pengusaha luar daerah untuk mengembangkan usahanya di daerah tersebut.

5.        Implikasi Perdagangan Bebas
Sebagaimana diketahui bahwa AFTA yang mulai berlaku Tahun 2003 dan APEC Tahun 2020 berimplikasi luas terhadap usaha kecil dan menengah untuk bersaing dalam perdagangan bebas. Dalam hal ini, mau tidak mau UKM dituntut untuk melakukan proses produksi dengan produktif dan efisien, serta dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan frekuensi pasar global dengan standar kualitas seperti isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14.000), dan isu Hak Asasi Manusia (HAM) serta isu ketenagakerjaan. Isu ini sering digunakan secara tidak fair oleh negara maju sebagai hambatan (Non Tariff Barrier for Trade). Untuk itu, UKM perlu mempersiapkan diri agar mampu bersaing baik secara keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif.

6.       Sifat Produk dengan Ketahanan Pendek
Sebagian besar produk industri kecil memiliki ciri atau karakteristik sebagai produk-produk dan kerajinan-kerajian dengan ketahanan yang pendek. Dengan kata lain, produk-produk yang dihasilkan UKM Indonesia mudah rusak dan tidak tahan lama.

7.       Terbatasnya Akses Pasar
Terbatasnya akses pasar akan menyebabkan produk yang dihasilkan tidak dapat dipasarkan secara kompetitif baik di pasar nasional maupun internasional.

8.       Terbatasnya Akses Informasi
Selain akses pembiayaan, UKM juga menemui kesulitan dalam hal akses terhadap informasi. Minimnya informasi yang diketahui oleh UKM, sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap kompetisi dari produk ataupun jasa dari unit usaha UKM dengan produk lain dalam hal kualitas. Efek dari hal ini adalah tidak mampunya produk dan jasa sebagai hasil dari UKM untuk menembus pasar ekspor. Namun, di sisi lain, terdapat pula produk atau jasa yang berpotensial untuk bertarung di pasar internasional karena tidak memiliki jalur ataupun akses terhadap pasar tersebut, pada akhirnya hanya beredar di pasar domestik.


Langkah Penanggulangan Masalah

Dengan mencermati permasalahan yang dihadapi oleh UKM dan langkah-langkah yang selama ini telah ditempuh, maka kedepannya, perlu diupayakan hal-hal sebagai berikut:
1.          Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif
Pemerintah perlu mengupayakan terciptanya iklim yang kondusif antara lain dengan mengusahakan ketenteraman dan keamanan berusaha serta penyederhanaan prosedur perijinan usaha, keringanan pajak dan sebagainya.

2.       Bantuan Permodalan
Pemerintah perlu memperluas skema kredit khusus dengan syarat-syarat yang tidak memberatkan bagi UKM, untuk membantu peningkatan permodalannya, baik itu melalui sektor jasa finansial formal, sektor jasa finansial informal, skema penjaminan, leasing dan dana modal ventura. Pembiayaan untuk UKM sebaiknya menggunakan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang ada maupun non bank. Lembaga Keuangan Mikro bank antara Lain: BRI unit Desa dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

3.       Perlindungan Usaha
Jenis-jenis usaha tertentu, terutama jenis usaha tradisional yang merupakan usaha golongan ekonomi lemah, harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah, baik itu melalui undang-undang maupun peraturan pemerintah yang bermuara kepada saling menguntungkan (win-win solution).

4.       Pengembangan Kemitraan

Perlu dikembangkan kemitraan yang saling membantu antar UKM, atau antara UKM dengan pengusaha besar di dalam negeri maupun di luar negeri, untuk menghindarkan terjadinya monopoli dalam usaha. Selain itu, juga untuk memperluas pangsa pasar dan pengelolaan bisnis yang lebih efisien. Dengan demikian, UKM akan mempunyai kekuatan dalam bersaing dengan pelaku bisnis lainnya, baik dari dalam maupun luar negeri.

Contoh industry Garment


Produksi garment disamping ditujukan untuk pasaran domestik, juga untuk pasar ekspor. Menurut statistik ekspor, komoditi ini dikelompokan menjadi dua pos tarif Harmonyzed System (HS), yaitu HS No 61 dan No 62. HS No. 61 adalah ‘barang dan perlengkapan pakaian rajutan atau kaitan’.. Sedangkan HS 62 adalah ‘barang dan perlengkapan pakaian, tidak dirajut atau dikait’.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, dalam tahun 1997-1998 ekspor garment Indonesia ke mancanegara mengalami penurunan. Merosotnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika (dan berbagai mata uang asing lainnya) pada waktu itu sebenarnya membuka peluang untuk meningkatkan ekspor garment Indonesia, mengingat harganya menjadi lebih kompetitif dibandingkan negara-negara pesaing lainnya yang tidak terkena krisis. Tetapi berbagai isu politik dan keamanan yang melanda Indonesia, sangat menghambat kelancaran arus ekspor ke luar negeri, bahkan produksi pun ikut terhambat. Di sisi lain, krisis ekonomi juga terjadi di sejumlah negara di kawasan Asia serta negara-negara lainnya di dunia, yang sebagian besar merupakan pasar utama ekspor garment Indonesia. Sebagai akibatnya, ekspor Indonesia pada tahun 1997 dan 1998 mengalami penurunan yang tajam.
Pada tahun 1999, perekonomiaan dunia dan kepercaayaan asing terhadaap kondisi Indonesia secara bertahap kembali pulih sehingga ekspor garment kembali bangkit. Hal ini terlihat dari volume ekspor garment yang pada tahun 1999 meningkat 68% yang merupakan peningkatan terbesar dalam 6 tahun terakhir. Pada tahun 2000, volume ekspor meningkat 7,4%, sedangkan nilainya meningkat 22%, sedangkan di tahun 2001, volume ekspor meningkat sebesar 4,1% namun nilainya turun -4,8%. Secara keseluruhan laju pertumbuhan ekspor komoditi ini selama periode 6 tahun terakhir,

Contoh Industry Lele

Ikan lele merupakan salah satu alternatif komoditas unggulan air tawar yang penting dalam rangka pemenuhan peningkatan gizi masyarakat. Dengan keunggulan mudah dibudidayakan serta harganya relatif terjangkau oleh semua lapisan masyarakat mengakibatkan prospek usaha beternak lele ini sangat layak untuk dicoba. Agribisnis Lele adalah suatu kegiatan usaha/bisnis yang berkaitan dengan ikan lele sebagai komoditas utamanya. Bisnis lele sekarang ini tengah marak dan bekembang pesat. Bisnis lelel ini meliputi bisnis benih, pembesaran, maupun bisnis pascapanen sebut saja warung pecel lelel yang telah menjamur di seluruh wilayah. Pasar utama ikan lele adalah warung lesehan dan pecel lele, disamping itu lele segar ataupun aneka olahan ikan lelel mulai banyak dijumpai di restoran, supermarket dan industri olahan.
Tiga dasawarsa yang lalu masih banyak orang yang enggan beternak lele. Selain karena masih sedikit orang yang mengkonsumsinya, nilai ekonomisnya juga masih kalah tinggi dibandingkan dengan ikan banding, gurami atau ikan mas. Namun keadaan telah berubah, usaha beternak lele seakan-akan tidak pernah mengalami kebuntuan. Permintaan akan lele segar baik untuk konsumsi ataupun untuk benih terus meningkat. Bahkan hingga saat ini kebutuhan pasar untuk pasar lokal saja belum terpenuhi, khususnya untuk pecel lele dan dan restoran padang. Misalnya saja kebutuhan pasar untuk daerah jabodetabek setiap harinya dibutuhkan 75 ton atau setara dengan 2.250 ton perbulan dengan nilai perputaran uang sekitar Rp. 20 milliar per bulan. Padahal untuk memenuhi kebutuhan tersebut pasokan ikan lele sudah didatangkan dari berbagai daerah seperti Parung (Bogor) dan Indramayu. Bahkan jika masih belum mencukupi pasokan lele didatangkan dari sentra produksi lain seperti tulungagung, jombang (jawa timur), kulonprogo (yogya) dll. Dengan demikian, prospek usaha / bisnis lele ke depan masih cukup menjanjikan yang ditunjukkan dengan permintaan dan harga lelel yang setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan.
Selain permintaan ikan lele segar untuk konsumsi, usaha pembenihan dan pembesaran lele, usaha lele di bidang pemancingan juga masih sangat berprospek. Satu hal yang sedang menjamur adalah produk olahan dengan bahan baku ikan lelel, seperti abon lele serta kerupuk lele. Minat masyarakat atas hasil olahan inipun cukup baik.
Prospek ikan lele ini sebenarnya tidak hanya terbatas pada pasar lokal saja. Lele memiliki peluang masuk ke pasar internasional / ekspor karena tekstur daging, ukuran serta kuantitasnya sudah memenuhi persyaratan untuk dijadikan komoditas ekspor ke mancanegara. Lele (Dumbo) memiliki tekstur yang sangat baik yaitu tergolong dalam kelompok white meat dan tidak berserat. Daging lele juga tidak memiliki duri halus pada bagian utamanya sehingga dapat diolah menjadi fillet segar dan beku.
Permintaan pasar ekspor adalah lele berukuran di atas 500 gr/ekor. Ukuran ikan lele sangat menentukan nilai jualnya. Hal ini disebabkan ukuran ikan disesuaikan target pasarnya, seperti pasar retail (supermarket), restoran dan industri olahan (reprocessing), pada Negara-negara tertentu. Agar produksi lele dapat diterima oleh Negara-negara tujuan ekspor, kualitas mutu olahan perlu dijaga. Mutu atau kualitas produk ikan yang utama adalah ukuran dan tekstur daging ikan (meliputi warna dan bau atau rasa). Pasar membutuhkan keseragaman ukuran yang sangat ketat. Oleh karena itu diperlukan keseriusan dari petani ikan (lele) / pembudidaya untuk memenuhi tantangan peluang ekspor ikan lele tersebut.

KESIMPULAN
Usaha kecil yang memproduksi suatu barang atau jasa yang menghasilkan keuntungan lebih besar dari modal yang dikeluarkan dan dapat berkembang atau meluas sehingga dikenal banyak orang dengan kualitasyang dapat menyaingi perusahaan besar dapat dikatakansebagai UKM berkembang , UKM yang berkembang memiliki peluang besar menjadi usaha yang besar atau sebuah perusahaan .

0 comments:

Post a Comment